Ketentuan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri mulai diberlakukan sejak 1 Januari 1995 (UU PPN 1994). Dengan kata lain ketentuan tersebut diberlakukan hampir 10 tahun sejak awal berlakunya PPN di Indonesia, yaitu 1 April 1985. Dapat dinyatakan bahwa PPN atas kegiatan membangun sendiri merupakan hal yang unik, karena kurang sesuai dengan konsep dasar pengenaan PPN selain PPN atas konsumsi lintas negara yang mana mensyaratkan adanya unsur-unsur pengusaha kena pajak, penyerahan, barang atau jasa kena pajak, memiliki nilai, dalam teritorial dan dalam kegiatan usaha[1]. Ketentuan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN sebagai berikut :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dengan Demikian pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri tidak memenuhi unsur pengusaha kena pajak, dan unsur dalam kegiatan usaha. Meskipun demikian, ketentuan tersebut tetap diberlakukan dengan pertimbangan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.Tanpa adanya ketentuan ini dikuatirkan terjadinya penghindaran PPN dengan cara membangun bangunan tanpa menggunakan Kontraktor/Pemborong. Hal ini disebabkan, jika menggunakan kontraktor, maka Kontraktor akan menagih PPN atas jasa konstruksi yang memang meruapakan jasa kena pajak.
Melihat pada sejarahnya, bahkan tujuan penerapan PPN atas kegiatan membangun sendiri ditegaskan pada Penjelasan Pasal 16C UU PPN 1994, yaitu untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak yang membeli bangunan dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri. Hal ini tidak mengherankan sebab saat itu Perusahaan Real Estate dapat menjual kavling saja, selanjutnya pembangunan rumahnya dilakukan sendiri oleh pembeli kavling.
Sedemikian tinggi perhatian Direktorat Jenderal pajak ketika itu, bahkan atas pembangunan sendiri rumah di area tanah real estate harus dianggap sebagai pembangunan oleh Pihak Perusahaan Real Estate, sebagaimana diatur dalam ketentuan SE-07/1995. Akhirnya setelah keluar aturan yang tidak membolehkan Perusahaan Real Estate hanya menjual kavling, maka ketentuan tersebut menjadi tidak relevan, sehingga tujuan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri menjadi hanya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pemahaman atas ketentuan PPN atas kegiatan membangun sendiri ini tentu saja penting, karena kegiatan ini tidak sedikit dilakukan oleh masyarakat. Dengan memahami, diharapkan masyarakat akan terhindar dari tagihan pajak dan sanksinya yang tidak perlu. Oleh karena itu di bawah ini akan diuraikan telaah atas ketentuan PPN atas kegiatan membangun sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.61 Tahun 2022 secara ringkas namun menyeluruh.
A. Subyek PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Subyeknya adalah Orang Pribadi atau Badan, tanpa membedakan Pengusaha Kena Pajak atau bukan. Jadi, siapapun yang melakukan kegiatan membangun sendiri dapat dikenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri, termasuk bukan pengusaha kena pajak. Namun Demikian untuk dikenakan PPN tersebut harus dipenuhi syarat-syarat obyek pajaknya sebagaimana diuraikan di bawah ini.
B. Obyek PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Untuk dikenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri sifat kegiatannya harus bukan dalam kegiatan usaha. Artinya, jika yang membangun adalah Perusahaan Pengembang atau Kontraktor Bangunan, maka PPN yang dikenakan bukan PPN atas kegiatan membangun sendiri, melainkan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PPN. Contoh: perusahaan Real estate membangun sendiri bangunan untuk dijadikan kantor pemasaran, maka atas kegiatan membangun kantor tersebut merupakan tidak dikenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri, melainkan dikenakan PPN atas pemakaian sendiri.
Pengertian membangun termasuk memperluas bangunan lama, yang juga berarti meningkat rumah termasuk dalam arti membangun. Kriteria bangunannya adalah: konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). Hal ini berarti, membangun bangunan yang memenuhi kriteria tersebut bukan obyek PPN atas kegiatan membangun sendiri. Dengan kriteria ini maka, membangun sendiri bangunan untuk tempat ibadah meski luasnya 20mm2 atau lebih bukan merupakan obyek PPN membangun sendiri.
Peruntukannya tidak harus untuk keperluan sendiri, melainkan juga yang peruntukannya untuk pihak lain. Akan tetapi tetap harus diingat bahwa ketika membangun bangunan untuk pihak lain sudah menjadi kegiatan usaha, maka pengenaan PPN-nya kembali kepada alinea pertama di atas, yaitu menjadi kena PPN Pasal 4 UU PPN.
Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu; atau bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Dalam hal tenggang waktu antara tahapan kegiatan membangun bangunan sebagaimana dimaksud lebih dari 2 (dua) tahun, kegiatan tersebut merupakan kegiatan membangun bangunan yang terpisah.
Termasuk dalam kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada yaitu kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau badan namun Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain. Orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dapat dikecualikan dari tanggung jawab untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat memberikan data dan/atau informasi yang benar dari pihak lain tersebut, yang paling sedikit meliputi: (a) identitas, (b) alamat lengkap. Ketentuan ini penting untuk diingat, sebab ketika membangun Gedung dengan menggunakan Kontraktor seringkali dipikir bahwa pemungutan PPN menjadi tanggung jawab Kontraktor. Belum lagi, jika si Kontraktor merasa masih sebagai Pengusaha Kecil.
C. Besaran PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
PPN atas kegiatan membangun sendiri dikenakan dengan besaran tertentu, yaitu 20% dikali tarif PPN. Artinya ketika tarif PPN masih 11%, besaran tertentunya adalah 2.2% dan ketika tarif PPN menjadi 12% (paling lambat tanggal 1 Januari 2025) , besaran tertentunya adalah 2.4%. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya adalah nilai jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah. Artinya, meliputi jumlah seluruh material, dan ongkos tukang yang dikeluarkan, tidak termasuk perolehan tanah.
D. Saat dan Tempat Terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri yaitu di tempat bangunan tersebut didirikan.
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud wajib disetor ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Surat Setoran Pajak harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut.
Dalam hat tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan kantor pelayanan pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi dengan: (1) angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; (2) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan (3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir;
b. kolom nama Wajib Pajak diisi nama dan Nomor Pokok Wajlb Pajak orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri; dan
c. kolom alamat Wajib Pajak diisi alamat tempat bangunan didirikan.
Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat Setoran Paiak diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi dengan: (1) angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; (2) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan (3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir;
b. kolom nama Wajib Pajak diisi nama yang melakukan kegiatan membangun sendiri; dan
c. kolom alamat Wajib Pajak diisi alamat tempat bangunan didirikan.
Kewajiban untuk menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dikecualikan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dalam hal jumlah Pajak Pertambahan Nilai dalam Masa Pajak bersangkutan nihil.
E. Perlakuan Kredit Pajak atas PPN Membangun Sendiri
Surat Setoran Pajak yang diisi sebagaimana diuraikan di atas merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
F. Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dengan ketentuan sebagai berikut:
a. orang pribadi atau badan yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai ke kantor pelayanan pajak terdaftar; dan
b. orang pribadi atau badan yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak dianggap telah melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sepanjang telah melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.
Kewajiban melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dikecualikan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dalam hal tidak terdapat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.
G. Akibat tidak disetornya PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri:
a. tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dan/atau tidak melakukan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud; atau
b. telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak masih terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang kurang dibayar dan/atau dilaporkan,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama, dapat menyampaikan imbauan secara tertulis kepada orang pribadi atau badan untuk memenuhi kewajiban perpajakan tersebut dan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Comments