Dewasa ini perkembangan zaman merubah aktivitas manusia menjadi lebih mudah dan ringkas dalam prosesnya. Teknologi sudah tidak lagi menjadi hal yang asing untuk digunakan bagi masyarakat pada umumnya. Salah satu bukti penggunaan teknologi pada saat ini yaitu munculnya perdagangan secara elektronik atau juga dikenal sebagai e-commerce.
e-commerce merupakan sebuah model bisnis yang memungkinkan terjadinya penjualan dan pembelian melalui sarana internet baik berupa jasa maupun produk. Melalui riset Google, Temasek, dan Bain & Company menyatakan bahwa nilai ekonomi pada sector e-commerce di Indonesia akan terus bertumbuh hingga US$95 miliar pada tahun 2025. Hingga pada tahun 2022 nilai transaksi e-commerce di Indonesia adalah Rp476 triliun.
Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce bahwa e-commerce terbagi ke dalam 4 model transaksi yakni Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail. Lebih Lanjut dalam Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa dalam praktiknya terus mengalami perkembangan lebih lanjut sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Layaknya hal tersebut disebutkan, muncul kategori baru terhadap jenis penyelenggaraan perdagangan melalui sistem elektronik yakni Social Commerce.
Social Commerce pada dasarnya hampir sama dengan online marketplace namun penggunaan platform media sosial, dan bukan melalui Online Marketplace. Jika ditinjau secara luas, perkembangan saluran penjualan barang dan jasa melalui sistem online membawa arah baru dan memperluas metode penjualan yang harapannya mempermudah para perdagangan untuk berusaha. Terlebih dengan munculnya fitur live Shopping atau sebuah strategi pemasaran dimana terdapat pembawa acara yang menampilkan dan menjelaskan berbagai produk yang ingin diperjualbelikan. Sebagai catatan, pada tahun 2021 sebagaimana data yang dilaporkan Momentum Works nilai transaksi bruto atau Gross Merchandise Value (GMV) TikTok Shop di Asia Tenggara terus bertumbuh sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2021 dengan nilai mencapai US$600 Juta atau 66,66% dari total GMV TikTok Shop Global yang saat itu bernilai US$900 Juta.
Tingginya valuasi tersebut diakibatkan adanya penghadiran barang yang lebih murah dibandingkan dengan Online Marketplace dan Social Commerce lainnya, karena dituding merupakan hasil perdagangan lintas batas sehingga banyak barang impor yang akan masuk tanpa melalui proses importasi yang semestinya dan turut berdampak terhadap aktivitas UMKM dalam berusaha. Terlebih fitur yang ditawarkan oleh TikTok jika dibandingkan dengan platform sosial media yang lainnya seperti Facebook, Twitter, Pinterest dan lainnya lebih lengkap dimana penjualan dan pembelian dapat dilakukan pada aplikasi yang sama tanpa harus berganti ke dalam Online Marketplace. Atas hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang baru disahkan pada tanggal 25 September 2023 tutur mengisyaratkan eksistensi Social Commerce di dalamnya. Social Commerce kemudian diartikan sebagai penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan Pedagang (Merchant) dapat memasang penawaran Barang dan/atau Jasa. Mengacu kepada pengertian tersebut maka dapat diartikan bahwa Social Commerce yang terdapat pada TikTok, Facebook, Twitter, dan berbagai platform lainnya hanya akan terbatas pada penyediaan fitur atau fasilitas pedagang untuk menawarkan barang dan/atau jasa. Penebalan juga dilakukan bahwa Social-Commerce dilarang bertindak sebagai produsen dan tidak terdapatnya fasilitas transaksi pembayaran pada sistem elektronik media sosial tersebut.
Adanya hal tersebut merupakan langkah yang baik bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kesetaraan transaksi yang terjadi dalam perdagangan melalui system elektronik yang terjadi. Dianggapnya Social-Commerce sebagai salah satu cabang penjualan melalui media elektronik turut mendorong ekstensifikasi penerimaan pajak. Hal ini dapat terjadi sebab adanya dasaran payung hukum melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2013 yang juga berkaitan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce, dimana transaksi Classified Ads yang dapat dilakukan pada Sosial Media akan dikenakan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.
Adapun Pajak Penghasilan dikenakan atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media lain untuk penyampaian informasi sebagaimana dilakukan pada media sosial. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan kepada Orang Pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media lain untuk penyampaian informasi. Pengenaan tersebut dilakukan tidak terbatas pada Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) namun turut diperlakukan sama kepada Subjek Pajak Luar Negeri. Sehingga perusahaan media sosial yang menyediakan fasilitas pengiklanan akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 ketika merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri, dan Pasal 26 ketika penyedia merupakan Wajib Pajak Luar Negeri.
Tidak luput dari hal tersebut pengenaan Pajak Pertambahan Nilai turut dilakukan kepada pengguna iklan yang menggunakan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media lain untuk penyampaian informasi. Sehingga pada saat penyerahan jasa tersebut di dalam daerah pabean maupun pemanfaatan jasa dari luar pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang pada saat ini adalah 11%. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Comments