Mekanisme self-assessment menuntut Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, serta melapor pajak terutang secara mandiri. Dalam menghitung pajak terutang, tidak hanya akan timbul status pajak kurang bayar, melainkan juga bisa nihil atau lebih bayar (LB). Kedua kondisi tersebut disebabkan karena adanya kredit pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Dengan mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) LB kepada DJP, Wajib Pajak memiliki dua opsi dalam permohonannya. Sesuai dengan UU KUP, Wajib Pajak dapat memilih skema pengembalian biasa (Pasal 17B UU KUP) atau melalui skema restitusi dipercepat (Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP). Dalam Pasal 17D, kepada Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP). Bagi Orang Pribadi, restitusi dipercepat diberikan kepada yang menjalankan kegiatan usaha/pekerjaan bebas ataupun tidak. Namun, bagi Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, terdapat batasan jumlah lebih bayar, yakni paling banyak senilai Rp 100 juta.
Berbeda dengan skema pengembalian LB Pasal 17B UU KUP, restitusi dipercepat Pasal 17D tidak melalui proses pemeriksaan, melainkan hanya melalui penelitian oleh DJP. Sayangnya, jika di kemudian hari DJP melakukan pemeriksaan meski SKPPKP telah terbit dan menimbulkan SKPKB, Wajib Pajak harus membayar jumlah pajak kurang bayar beserta sanksi administrasi kenaikan sebesar 100%. Hal ini menyebabkan Wajib Pajak khawatir untuk mengeklaim hak lebih bayar.
Dengan terbitnya PER-05/PJ/2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, WP OP tidak perlu khawatir atas sanksi administrasi kenaikan 100%. Apabila setelah permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak WPOP diterbitkan SKPKB, sanksi administrasi kenaikan 100% sudah tidak berlaku. Adanya relaksasi dalam hal besaran tarif mengacu pada amanat Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP.
Saat ini, sanksi administrasi yang berlaku adalah sanksi bunga sebagaimana sanksi pada perhitungan SKPKB sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Sanksi bunga tersebut dihitung dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dikenakan paling lama 24 bulan. Jika mengacu pada rata-rata sanksi bunga pada kuartal pertama tahun 2023, sanksi bunga Pasal 13 ayat (2) UU KUP sebesar 1,82%.
Dengan demikian, relaksasi sanksi yang diberikan kepada WPOP kurang lebih menyentuh batas maksimal 50%. Selain itu, semula, restitusi WPOP diberikan dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi dengan ketentuan ini hanya menjadi 15 hari kerja sejak SPT disampaikan secara lengkap.
Bagi WPOP yang telah menyampaikan permohonan pengembalian sebelum peraturan ini berlaku sampai dengan 31 Mei 2023, terdapat dua skenario sebagaimana dijelaskan pada Pasal 4 PER-05/PJ/2023. Pertama, apabila WPOP belum dilakukan pemeriksaan atau belum diterbitkannya SPHP hingga 31 Mei 2023, maka WPOP dapat mengikuti ketentuan restitusi dipercepat pada peraturan ini. Akan tetapi, jika WPOP telah dilakukan pemeriksaan dan diterbitkan SPHP sampai dengan 31 Mei 2023, maka rujukan ketentuan mengikuti Pasal 17B UU KUP.
Comments