Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (‘UU PPh’) membagi jenis sewa menjadi 2 (dua), yakni atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dan sewa guna usaha.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta diatur melalui Pasal 4 ayat (1) huruf i. UU PPh, yang berdasarkan Penjelasan Pasal tersebut, sewa didefinisikan sebagai imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta bergerak atau harta tak bergerak. Kemudian, perlakuan pajak untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta untuk setiap jenis objek sewa pun berbeda. Pertama, untuk objek pajak penghasilan sewa yang bersumber dari tanah atau bangunan, berlaku ketentuan pemotongan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf e. UU PPh juncto Pasal 2 KMK No. 120/KMK.03/2002 dengan tarif 10% dan bersifat final. Kedua, untuk objek pajak penghasilan sewa yang tidak bersumber dari tanah atau bangunan, berlaku kepadanya ketentuan pemotongan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dengan tarif 2%.
Di sisi lain, Sewa Guna Usaha diatur secara mendetil melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Sewa-guna-usaha (Leasing), dengan Pasal 1 mendefinisikan Sewa Guna Usaha sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik dengan hak opsi (financial lease) maupun tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Oleh karena itu, terdapat perlakuan pajak berbeda untuk sewa guna usaha dengan hak opsi dan untuk sewa guna usaha tanpa hak opsi. Apabila sewa guna usaha memiliki hak opsi, tidak terdapat pemotongan pajak. Sedangkan, apabila sewa guna usaha tidak memiliki hak opsi, lessee diwajibkan untuk memotong (withholding) Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 2% dari pembayaran sewa.
Perbedaan antara Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dengan Sewa Guna Usaha dapat diatribusikan dengan melihat kepada siapa lessee melakukan perjanjian sewa. Apabila lessee melakukan perjanjian sewa dengan Lembaga Pembiayaan, secara pajak transaksi sewa tersebut digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 KMK 1169/KMK.01/1991 yang menyatakan bahwa lessor merupakan perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha. Akan tetapi, apabila lessee melakukan perjanjian sewa dengan selain Lembaga Pembiayaan, secara pajak transaksi sewa tersebut digolongkan sebagai Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Dengan demikian, wajib pajak harus mengetahui dan mencermati dengan siapa perjanjian sewa dilakukan. Sebab, perlakuan pajak dan peraturan pelaksana antara Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dengan Sewa Guna Usaha adalah berbeda.
Comments