Salah satu hal yang tidak jarang menjadi perdebatan dalam dunia perpajakan adalah perbedaan antara royalti dan jasa teknik. Bahkan, perbedaan kedua hal tersebut sering kali terbawa hingga tingkat banding. Pada praktiknya, dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak sering terjadi karena ketidakpastian dalam menentukan mana transaksi yang dikatakan sebagai pembayaran royalti, dan mana yang dikatakan sebagai pembayaran imbalan jasa teknik. Perbedaan ini penting untuk diketahui karena akan berpengaruh pada perlakuan perpajakan antara keduanya. Selain itu, perbedaan ini juga penting diketahui Wajib Pajak sebagai langkah preventif dalam menghadapi sengketa pajak.
Pada dasarnya, berbedaan utama royalti dan imbalan jasa teknik terletak pada sifatnya. Royalti memiliki sifat sebagai passive income, sedangkan imbalan jasa teknik memiliki sifat sebagai active income. Melalui perbedaan sifat itu saja, sejatinya kita sudah dapat menarik perbedaan utamanya. Kata pasif dalam passive income mengartikan bahwa jenis penghasilan tersebut dapat diterima/diperoleh dari sumber yang tidak memerlukan aktivitas, kegiatan, atau keterlibatan secara langsung. Jenis penghasilan pasif ini dapat diterima/diperoleh Wajib Pajak dengan tidak melakukan kegiatan apapun.
Di sisi lain, kata aktif dalam active income mengartikan bahwa jenis penghasilan tersebut baru dapat diterima/diperoleh Wajib Pajak dengan terlebih dahulu melakukan suatu kegiatan secara aktif atau keterlibatan secara langsung. Pengertian lebih lanjut terkait royalti dan jasa teknik juga diatur dalam standar internasional, yaitu OECD Model Conventions dan UN Model.
Berdasarkan OECD Model, royalti dapat didefinisikan sebagai “payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial, or scientific experience.” Melalui definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa OECD Model mendefinisikan royalti sebagai suatu pembayaran atas diberikannya hak untuk menggunakan suatu aset, umumnya aset tidak berwujud.
Adapun berdasarkan UN Model, royalti didefinisikan sebagai “payments of any kind received as consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph, films or tapes used for radio or television broadcasting, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use industrial, commercial or scientific equipment, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience.” Dapat dikatakan bahwa UN Model mendefinisikan royalti dalam artian yang lebih luas. Namun, substansi atau pengertian yang diberikan sama saja dengan yang dinyatakan oleh OECD Model, hanya saja terdapat penjabaran yang lebih rinci.
Royalti sebagai passive income dapat diperoleh pemilik aset atas pemberian suatu hak. Saat diberikannya hak tersebut, pemilik aset tidak perlu mengeluarkan usaha secara aktif. Hal ini disebabkan pemilik aset telah mengeluarkan usahanya di awal saat ingin memperoleh aset tersebut. Dalam royalti, pemilik aset juga tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab atas hasil akhir dari aset yang diberikan.
Memasuki penjelasan atas jasa teknik, sejatinya jasa teknik memiliki pengertian yang merupakan keterbalikan dari royalti. Imbalan jasa teknik adalah suatu imbalan yang diberikan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan suatu pihak terkait dengan bidang tertentu. Sesuai dengan sifatnya, yaitu active income, untuk berhak menerima imbalan atas jasa teknik, pemberi jasa memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas hasil akhir dari jasa yang diberikan. Pemberi jasa berkewajiban untuk memastikan apakah hasil akhir dari jasa yang diberikannya telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan atau diminta.
Selanjutnya, dengan adanya perbedaan pengertian terkait royalti dan jasa teknik, tentu akan terdapat perbedaan perlakuan perpajakan. Secara sederhana, pembayaran royalti akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%, sedangkan pembayaran atas jasa teknik akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2%. Dapat terlihat bahwa kesalahan penginterpretasian dapat berdampak pada pengenaan tarif yang salah. Kesalahan interpretasi tersebut juga dapat merugikan Wajib Pajak karena adanya selisih yang besar antara 15% dan 2%. Apabila terdapat Wajib Pajak yang melakukan pembayaran jasa teknik dan telah dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2%, kemudian otoritas pajak mengoreksi dengan alasan transaksi tersebut merupakan pembayaran royalti dan seharusnya dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%, Wajib Pajak akan menanggung beban tambahan sebesar 13%.
Selain perbedaan tarif, perbedaan antara jasa teknik dan royalti juga akan berimplikasi pada perlakuan yang berbeda dalam standar internasional. Dengan mengacu pada tax treaty beberapa negara, pemberian jasa teknik dapat berimplikasi pada pembentukan suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) apabila telah memenuhi time test yang diatur. Di sisi lain, pembayaran royalti tidak akan menimbulkan BUT meskipun transaksi telah berlangsung sangat lama.
Walaupun kata jasa teknik dan royalti terdengar sederhana, tetapi jika tidak diperhatikan secara mendalam, hal ini dapat berimplikasi pada beban tambahan yang justru dapat merugikan. Untuk mengatasi terjadinya sengketa pajak yang tidak diinginkan, Wajib Pajak dapat melakukan beberapa langkah antisipatif. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan tersebut, antara lain mendokumentasikan setiap arus transaksi yang terjadi serta membuat kontrak dengan jelas, substantif, dan sesuai dengan kegiatan yang benar-benar dilakukan pada kenyataannya.
Comentarios