Dalam dunia bisnis banyak perusahaan yang melakukan penggantian biaya (reimbursement) kepada para vendor/rekanan bisnisnya. Dalam praktiknya, reimbursement sering digunakan apabila terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu penerima jasa/barang (pihak pertama), perantara (pihak kedua), dan pemberi jasa/barang (pihak ketiga). Perantara berperan sebagai penghubung antara pihak pertama dan ketiga dengan menanggung biaya pembayaran kepada pihak ketiga. Kemudian, pihak pertama akan mengganti biaya yang telah ditanggung oleh perantara.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) PMK 141/2015, diatur bahwa pembayaran kepada penyedia Jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangkutan tidak termasuk dalam kategori objek pemotongan PPh 23.
Berikut kasus skema terkait reimbursement PT AAA (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT BBB selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada PT CCC (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp255.000.000,00. Rincian tagihan PT BBB kepada PT AAA terdiri dari jasa pembuatan materi iklan sebesar Rp100.000.000,00; fee agen Rp5.000.000,00; dan biaya pemasangan iklan Rp150.000.000,00. Atas biaya pemasangan iklan tersebut, CCC menagih kepada PT BBB sebesar Rp150.000.000,00 yang kemudian akan dilakukan reimbursement oleh PT AAA kepada PT BBB.
Dari hal terdapat rincian atas tagihan tersebut, maka yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada PT CCC oleh PT BBB (Rp150.000.000 x 2%) dan atas pembayaran jasa, pembuatan materi iklan dan jasa keagenan kepada PT BBB oleh PT AAA (Rp105.000.000 x 2%).
Sedangkan dalam hal tidak terdapat rincian atas tagihan tersebut, maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT AAA kepada PT BBB adalah sebesar Rp255.000.000,00, sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT AAA atas pembayaran kepada PT BBB sebesar Rp255.000.000.
Mengacu pada Sengketa Pajak terdahulu, DJP menganggap transaksi reimbursement yang dilakukan Wajib Pajak dengan PT X dan PT Y terutang PPh Pasal 23. Dalam kasus tersebut Wajib Pajak belum memungut PPh Pasal 23 atas penggantian yang diterima PT X dan PT Y. Sebaliknya, Wajib Pajak berargumen bahwa transaksi atas reimbursement tersebut tidak terutang PPh Pasal 23. Putusan Banding No. Put. 64606/PP/M.VA/12/2015 memutus untuk mengabulkan sebagian permohonan banding Wajib Pajak. Kemudian DJP mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung, Namun berdasarkan putusan PK No. 742/B/PK/PJK/2016 Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan PK yang diajukan oleh DJP tersebut dan berpendapat bahwa putusan banding No. Put. 64606/PP/M.VA/12/2015 sudah tepat dan benar .
Dengan demikian perlu dipahami ketentuan atas penggantian (reimbursement), khususnya terkait tagihan yang diterbitkan, Wajib Pajak dapat melakukan perincian terkait nilai reimbursement dan nilai jasa. Sehingga tidak terjadi sengketa di masa yang akan datang.
コメント