top of page
Gambar penulisBambang Pratiknyo

PREMI ASURANSI KESEHATAN DAN PMK NO.6 TAHUN 2O23

Diperbarui: 3 Agu 2023


Meskipun patut disyukuri munculnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (selanjutnya disingkat dengan PMK No.66/2023) sebagai aturan pelaksanaan pemajakan atas penghasilan berbentuk natura dan/atau kenikmatan, namun seperti biasa, setiap muncul peraturan perpajakan baru, muncul pula pertanyaan-pertanyaan terkait peraturan yang bersangkutan. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah apakah premi asuransi kesehatan yang dibayar Pemberi Kerja untuk pegawainya merupakan kenikmatan sebagaimana diatur oleh PMK No.66/2023? Jika jawabannya ya, maka apakah atas premi tersebut menjadi obyek pajak? Tentu Jawaban atas pertanyaan ini menjadi penting, karena tidak sedikit Pemberi Kerja menanggung premi Kesehatan buat karyawannya. Untuk itu di bawah ini akan diuraikan pembahasan dan jawabannya.


Definisi kenikmatan menurut PMK No.66/2023 sesungguhnya sama dengan definisi yang tertuang dalam UU Pajak Penghasilan, namun seperti halnya PP Nomor 22 Tahun 2022 definisinya menambahkan sumber fasilitasnya, sehingga definisinya sebagai berikut:

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk kenikmatan merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva: a) pemberi penggantian atau imbalan; dan/atau, b) pihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi, untuk dimanfaatkan oleh penerima.


Apabila premi asuransi kesehatan dianggap sebagai fasilitas atau pelayanan dari Pemberi Kerja, maka premi tersebut merupakan kenikmatan. Persoalannya adalah bahwa berbeda dengan fasilitas kendaraan/tempat tinggal yang dinikmati secara langsung, premi asuransi Kesehatan baru dapat dinikmati oleh Pegawai hanya saat terjadi klaim (terjadinya peristiwa Pegawai mengalami sakit dan mengklaim penggantian atau pelayanan pengobatan/perawatan). Oleh karena itu premi asuransi kesehatan tidak tepat benar jika diklasifikasikan sebagai kenikmatan sebagaimana dimaksud oleh PMK No.66/2023.

Sekalipun demikian, yang menarik adalah bahwa dalam Tabel Lampiran A PMK No.66/2023 disebutkan bahwa Iuran Pensiun yang dibayarkan kepada Dana Pensiun yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan yang ditanggung oleh Pemberi Kerja diklasifikasikan sebagai kenikmatan. Sesungguhnya Pegawai baru akan menikmati pensiun di kemudian hari ketika sudah berhak mendapatkan uang pensiun (ketika mencapai usia pensiun atau ketika memasuki waktu berhak mengklaim uang pensiun dari Dana Pensiun).


Dengan Demikian antara premi asuransi kesehatan dan iuran pensiun yang ditanggung Pemberi Kerja sesungguhnya terdapat kemiripan, yaitu fasilitasnya tidak langsung dapat dinikmati Pegawai saat biaya tersebut dibebankan oleh Pemberi Kerja. Lebih lanjut, dengan juga memahami bahwa Tabel Lampiran A PMK No.66/2023 sebagai Negative List, maka berhubung premi asuransi kesehatan tidak masuk dalam table tersebut, premi tersebut menjadi obyek pajak. Dengan kata lain perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan, adalah bahwa premi tersebut taxable di Pegawai dan deductible di Pemberi Kerja (asumsi memenuhi syarat sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan).

Penyimpulan perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan yang dibayarkan oleh Pemberi Kerja berdasarkan PMK No.66/2023 sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya kurang tepat, sebab latar belakang munculnya PMK No.66/2023, adalah diubahnya ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d, munculnya ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf n, dan dihapuskannya Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh terbaru (UU No.7 Tahun 2021). Kemunculan ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan memperbarui perlakuan pemajakan atas penghasilan berbentuk natura dan/atau kenikmatan dalam rangka mencegah penggerusan basis penerimaan pajak (akibat tarif PPh Badan yg lebih kecil daripada tarif PPh Orang Pribadi) sekaligus mencapai keadilan pemajakan.


Faktanya pembaruan perlakuan pemajakan atas penghasilan natura dan/atau kenikmatan tersebut tidak menyentuh Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh, yaitu tentang perlakuan biaya atas premi asuransi kesehatan. Hal ini diindikasikan dengan tidak dihapuskannya ketentuan tersebut dan ini berarti PMK No.66/2023 tidak mengatur perlakuan pemajakan atas premi asuransi kesehatan. Dengan Demikian, perlakuannya tetap seperti semula, yaitu bahwa premi asuransi kesehatan tidak dapat dibiayakan, kecuali dibayarkan oleh Pemberi Kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. Perlakuan tersebut dalam prakteknya dijadikan suatu hal yang opsional yang mana jika biaya premi asuransi kesehatan dijadikan penghasilan yang dikenakan pajak pada Pegawai, maka bagi Pemberi Kerja menjadi deductible, sebaliknya, jika tidak dikenakan pajak pada Pegawai, maka bagi Pemberi Kerja menjadi non-deductible.


Praktek yang opsional tersebut dapat dimaklumi sebab berbeda dengan Iuran pensiun/THT yang ditanggung Pemberi Kerja, premi asuransi kesehatan tidak ditegaskan baik sebagai obyek maupun non obyek pemotongan PPh Pasal 21 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemotongan PPh Pasal 21. Meski begitu, praktek opsional yang logis tersebut sesungguhnya dapat bermasalah secara hukum, karena dalam ketentuannya hanya menyebut bahwa premi asuransi kesehatan yang ditanggung Pemberi kerja tidak non-deductible (dibiayakan) dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan.


Dasar pemikiran perlakuan atas premi asuransi kesehatan yang seperti itu adalah terkait dengan aspek sosial budaya yang mana dirasa kurang manusiawi untuk mengenakan PPh pada penerima santunan asuransi yang mendapat musibah, maka pemajakannya dipercepat dengan tidak boleh dibiayakan pada saat pembayaran premi dan memberikan pembebasan pajak pada saat pembayaran santunan asuransi (Gunadi, 2013). Secara logis, percepatan pemajakan juga terjadi ketika premi asuransi yang dibayar Pemberi Kerja diperlakukan sebagai taxable pada Pegawai dan deductible bagi Pemberi Kerja. Tentu saja perlakuan pajak seperti ini sejatinya tidak memberikan pembebasan atas penghasilan dari Santunan/Klaim Asuransi Kesehatan, melainkan memindahkan saat pemajaknnya, yaitu pemajakan di muka (dipercepat). Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa aspek kemanusiaannya tidak sepenuhnya diterapkan.


Demikianlah, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemajakan atas premi asuransi kesehatan yang dibayar oleh Pemberi Kerja tidak diatur dalam PMK No.66/2023, melainkan diatur langsung dalam UU PPh, dan atas premi tersebut merupakan obyek pajak.

31 tampilan0 komentar

Komentarze


bottom of page