Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengubah beberapa ketentuan perpajakan, salah satunya yaitu perlakuan perpajakan atas natura dan/atau kenikmatan. Hal ini sangat penting mengingat pemberian natura dan/atau kenikmatan erat hubunganya dengan kegiatan sehari-hari. Sebelum membahas lebih dalam terkait perubahan ketentuan perpajakannya, terlebih dahulu mari mengenal apa yang dimaksud dengan natura dan/atau kenikmatan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan. Selanjutnya apa saja perubahan yang dibawa UU HPP terkait perlakuan perpajakan atas natura dan/atau kenikmatan.
Pertama, terkait imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam UU HPP ditetapkan sebagai objek pajak penghasilan. Hal ini mengubah ketentuan sebelumnya yang mengatur bahwa imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak.
Kedua, UU HPP mengubah ketentuan natura dan/atau kenikmatan menjadi negative list. Artinya, yang tertuang di dalam Undang-Undang adalah hanya natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. Namun yang menjadi menarik adalah terdapat ketentuan "natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu yang akan dikecualikan". Hal ini membutuhkan kejelasan dalam aturan pelaksanaan terkait jenis dan/atau batasan tertentu, walaupun pada Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022, menjelaskan sekilas apa yang dimaksud batasan tertentu terkait natura dan/atau kenikmatan. Batasan tertentu tersebut harus mempertimbangkan jenis dan/atau nilai dan/atau kriteria penerima penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Namun hal tersebut belum menjelaskan secara detil terkait batasan tertentu yang dimaksud.
Ketiga, dalam UU HPP memberlakukan terkait prinsip taxable-deductible atas perlakuan natura dan/atau kenikmatan. Artinya, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak penghasilan bagi penerima. Sedangkan pemberi imbalan tersebut dapat membiayakan nilai atas imbalan yang diberikan.
Berdasarkan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dapat dinilai dengan menggunakan dua mekanisme. Pertama, berdasarkan nilai pasar untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk natura. Kedua, biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan oleh pemberi untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan. Hal ini justru menambah kerumitan yang dihadapi oleh wajib pajak, selain harus melakukan pemotongan pajak penghasilan. Wajib pajak dihadapkan dengan permasalahan baru dengan bagaimana cara menilai imbalan tersebut, terutama terkait dengan menilai natura dengan nilai pasar.
Penetapan natura dan kenikmatan sesuai prinsip taxable-deductible tentunya juga akan berimplikasi pada akumulasi beban pajak yang akan ditanggung oleh Wajib Pajak. Skema perlakuan perpajakan atas natura dan/atau kenikmatan menggeser beban pajak yang awalnya dikenakan pada tingkat perusahaan, dengan adanya UU HPP menjadi tanggungan wajib pajak orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan tersebut.
Untuk keperluan manajemen pajak, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pemberian imbalan natura dan/atau kenikmatan. Pertama, menunggu aturan pelaksanaan tentang jenis dan/atau batasan tertentu natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan. Kedua, terkait lapisan tarif ke berapa penghasilan yang diterima orang pribadi tersebut. Ketiga, penggunaan tarif PPh Badan karena fasilitas 31E. Keempat, status PTKP orang pribadi tersebut. Terakhir, terkait besaran nilai natura dan/atau kenikmatan yang diberikan
Comments