Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan landasan hukum formal perpajakan. Undang-Undang ini mengatur mengenai dasar bagaimana ketentuan materiil perpajakan dapat dilaksanakan. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat beberapa ketentuan formal dalam UU KUP yang mengalami perubahan.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah terkait batas waktu pengungkapan ketidakbenaran Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan, tepatnya dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP. Perubahan pengaturan ini menjadi sangat penting, mengingat tidak jarang Wajib Pajak yang terlambat menyadari kesalahan dalam pengisian SPT-nya bahkan sampai saat tindakan pemeriksaan telah dilaksanakan.
Di lain pihak, pengungkapan ketidakbenaran SPT ini dapat memberikan manfaat bagi Wajib Pajak, yaitu pengenaan sanksi yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sanksi ketika Surat Ketetapan Pajak (SKP) telah terbit, pengungkapan ketidakbenaran ini hanya akan memberikan sanksi berupa bunga berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift factor sebesar 10% dan dibagi 12 (dua belas) bulan. Di sisi lain, sanksi yang dikenakan saat SKP telah terbit akan menjadi lebih besar, yaitu sanksi bunga berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift factor sebesar 15% dan dibagi 12 (dua belas) bulan.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perubahan ini, perlu terlebih dahulu diketahui alur pemeriksaan serta produk dari alur pemeriksaan tersebut. Pada tahap awal pemeriksaan, tim pemeriksa akan melakukan penugasan serta persiapan pemeriksaan. Setelah tahap awal tersebut telah dilakukan, selanjutnya akan diterbitkan produk pertama dalam proses pemeriksaan, yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SP2). Apabila Wajib Pajak telah menerima SP2 dan mengetahui akan dilakukannya tindakan pemeriksaan, tim pemeriksa akan meminjam dokumen, yang sekiranya dibutuhkan, kepada Wajib Pajak, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pengujian.
Setelah pengujian telah selesai dilaksanakan, tim pemeriksa akan menerbitkan produk berupa Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) untuk disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi segala hasil temuan selama proses pemeriksaan. Dalam SPHP ini, Wajib Pajak juga diberikan hak untuk turut hadir pada tahap berikutnya, yaitu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Apabila Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan telah mencapai suatu kesepakatan, akan diterbitkan Berita Acara Hasil Pembahasan Akhir. Berita Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang berisi nota perhitungan pajak. Ketika seluruh tahap tersebut telah dilakukan, tim pemeriksa pada akhirnya akan menerbitkan produk utama dari tindakan pemeriksaan berupa SKP.
Kembali pada pembahasan mengenai perubahan dalam UU HPP, sebelumnya Pasal 8 ayat (4) mengatur bahwa Wajib Pajak masih dapat mengungkapkan ketidakbenaran terkait pengisian SPT yang telah disampaikan meskipun Direktur Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat DJP belum menerbitkan SKP. Dengan diterbitkannya UU HPP, persyaratan mengenai pengungkapan ketidakbenaran tersebut berubah. Melalui perubahan UU HPP, Wajib Pajak masih dapat mengungkapkan ketidakbenaran sepanjang DJP belum menyampaikan SPHP.
Dengan adanya perubahan ini, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu bagi Wajib Pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran SPT menjadi lebih singkat. Berdasarkan Pasal 15 ayat (5) PMK Nomor 184/PMK.03/2015 jo PMK Nomor 18/PMK.03/2021, jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan adalah paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan sampai dengan tanggal LHP.
Adapun sesuai dengan Pasal 4 PMK No. 23/PMK.03/2008, jangka waktu penerbitan SKP sejak dikeluarkannya LHP adalah 6 hari, yaitu jangka waktu 3 hari untuk penerbitan nota penghitungan sejak tanggal LHP, yang kemudian dilanjutkan dengan jangka waktu 3 hari untuk penerbitan SKP sejak tanggal pembuatan nota penghitungan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perubahan dalam UU HPP akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan jangka waktu pengungkapan kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan.
Sebagai upaya manajemen usaha, sebaiknya Wajib Pajak segera melakukan pengungkapan ketidakbenaran apabila menyadari adanya ketidakbenaran dalam pengisian SPT yang baru disadari sampai dilakukannya pemeriksaan. Namun, akan menjadi lebih baik apabila sejak proses persiapan pengisian dan pelaporan SPT Wajib Pajak telah mengupayakan akurasi dalam melakukan kalkulasi, penyetoran, dan pelaporan pajaknya. Sehingga biaya-biaya kepatuhan (baik itu direct money cost, time cost, dan psychological cost) dapat diminimalisasi.
留言