“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.” Kutipan tersebut merupakan definisi hibah berdasarkan Pasal 1666 KUHP Perdata.
Dalam ketentuan perpajakan, hibah memiliki pengaturan khusus. Pada dasarnya, hibah selain uang merupakan objek pajak bagi pemberi serta penerima hibah. Kewajiban pajak bagi pemberi hibah muncul jika terdapat objek pajak berupa keuntungan atas selisih harga pasar dibanding harga buku/harga perolehan atas harta yang dihibahkan dalam hal syarat tertentu tidak terpenuhi. Dari sisi penerima hibah, penerimaan hibah dapat dianggap sebagai objek pajak penghasilan (PPh) karena atas harta hibah yang diterima bersifat menambah “kemampuan ekonomis” bagi penerima hibah.
Namun, tidak semua bentuk hibah akan menjadi objek yang terutang pajak. Dari berbagai macam bentuk pemberian hibah, terdapat beberapa pemberian yang dikecualikan dari objek PPh. Untuk mengantisipasi kesalahan pembayaran pajak akibat ketidaktahuan Wajib Pajak, perlu diketahui bahwa terdapat harta hibahan yang bukan merupakan objek PPh.
Pengaturan terkait hibah yang dikecualikan dari objek PPh ditegaskan secara lebih lanjut dalam PMK No. 90 Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 9 ayat (1) PMK 90/2020, yang dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun ketentuan tersebut berlaku baik bagi pihak pemberi maupun penerima hibah, yang mana bagi pemberi hibah dan penerima hibah tidak ada objek pajak.
Hal yang juga penting untuk diketahui dalam PMK 90/2020 adalah pengaturan dalam Pasal 5, untuk pemberi hibah, dan Pasal 10, untuk penerima hibah. Dilihat dari sisi pemberi hibah, Pasal 5 PMK 90/2020 mengatur bahwa “Meskipun terdapat hubungan kepemilikan atau penguasaan keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan tetap dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang pihak pemberi dan pihak penerima merupakan badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan.”
Dari sisi penerima hibah, Pasal 10 PMK 90/2020 mengatur bahwa “Meskipun terdapat hubungan kepemilikan atau penguasaan, harta hibahan yang diterima tetap dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang pihak penerima merupakan badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan.”
Selanjutnya, pada paragraf awal telah disinggung bahwa yang menjadi objek PPh bagi pemberi hibah adalah keuntungan atas selisih harga pasar dan nilai sisa buku fiskal (apabila pihak pemberi wajib menyelenggarakan pembukuan); atau nilai perolehan (apabila pihak pemberi tidak wajib menyelenggarakan pembukuan). Namun, jika harta yang dihibahkan merupakan tanah dan/atau bangunan, maka yang menjadi objek PPh adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam SPT Pajak Bumi dan Bangunan di tahun pajak saat terjadi pengalihan.
Apabila pemberian hibah berupa tanah dan/atau bangunan tidak dikecualikan dari objek PPh, atas hibah tanah dan/atau bangunan tersebut akan mengikuti ketentuan PPh Pasal 4 ayat (2) final atas tanah dan/atau bangunan, yaitu terutang PPh final sebesar 2,5%. Adapun dari sisi penerima hibah, yang akan menjadi objek terutang PPh adalah harta hibahan yang dapat berbentuk uang atau barang, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) PMK 90/2020.
Comentarios