Untuk menjamin keadilan, terdapat prinsip taxable-deductible dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang. Prinsip taxable atau “dikenakan pajak” dalam kata lain mengarah pada objek pajak penghasilan. Sejak UU HPP berlaku, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak penghasilan, di mana hanya natura/kenikmatan tertentu yang tetap dikecualikan.
Imbalan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan di satu sisi merupakan biaya atau pengeluaran bagi pemberi penghasilan seperti Wajib Pajak Badan (perusahaan). Apabila memenuhi syarat 3M (Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara) pada Pasal 6 UU PPh, itulah yang dimaksud sebagai prinsip deductible. Dengan demikian, secara sederhana ketika suatu objek transaksi deductible di sisi perusahaan, maka objek tersebut tidak akan dikenakan pajak penghasilan badan. Di sisi lain, objek transaksi tersebut bagi si penerima bersifat taxable.
Sejak 18 April 2002, DJP mengeluarkan ketentuan KEP-220/PJ/2002. Ketentuan tersebut mengatur besarnya nilai yang boleh dibebankan perusahaan perihal pemakaian telepon seluler oleh pegawai dan kendaraan perusahaan untuk menghitung PPh Badan terutang. Apabila kendaraan perusahaan selain jenis sedan digunakan untuk kepentingan antar jemput para pegawai, maka biaya perolehan dan perbaikannya dapat dibebankan seluruhnya. Namun, bagi pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, perusahaan hanya boleh membebankan 50% dari jumlah biaya, baik untuk perolehan dan maintenance terkait telepon seluler maupun kendaraan sedan sejenis.
Yang menjadi sorotan dalam KEP-22/PJ/2002 adalah nilai pembebanan (deduction) yang hanya boleh diakui sebesar 50%. Artinya, 50% lainnya dari jumlah biaya tidak boleh diakui biaya pengurang oleh perusahaan. Atau dalam kata lain, biaya ini akan dihitung dalam PPh Badan terutang karena nilai 50% ini akan dikoreksi positif.
Di sisi perusahaan, biaya telepon seluler dan kendaraan perusahaan bersifat deductible meskipun tidak seluruhnya. Maka, di sisi pegawai, ini merupakan “penghasilan” (taxable) karena adanya benefit berupa non-cash atau dalam kata lain berbentuk kenikmatan. Berdasarkan UU HPP, imbalan natura/kenikmatan yang tidak disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh adalah objek pajak penghasilan. Ketika 50% atas imbalan berbentuk kenikmatan dihitung dalam PPh Badan perusahaan karena koreksi positif, lalu nilai yang sama dihitung kembali sebagai penghasilan berupa imbalan kenikmatan di sisi penerima, maka timbul pemajakan berganda. Hal ini justru menyalahi prinsip taxable-deductible.
Pasalnya, hingga UU HPP berlaku, ketentuan KEP-22/PJ/2002 belum secara resmi dicabut. Secara hukum, prinsip lex superiori derogat lex inferiori seharusnya berlaku, di mana ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Banyak Wajib Pajak terutama pengurus Badan yang mempertanyakan apakah ketentuan tersebut masih berlaku, mengingat adanya perubahan pada UU HPP. Namun, mengacu pada hierarki perundang-undangan di Indonesia, kedudukan Undang-Undang jauh lebih tinggi dibandingkan KEP-Dirjen. Dengan demikian, secara tidak langsung artinya KEP-22/PJ/2002 sudah tidak relevan. Maka, bagi perusahaan, seluruh biaya yang disebutkan sebelumnya boleh diakui sebagai beban (deductible) karena akan dipajaki (taxable) di sisi penerima.
Comments