Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya (UU PPN) memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk kemudian melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN, PKP tentu perlu mengetahui dan memahami terlebih dahulu kapan terutangnya PPN.
Sehubungan dengan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), telah dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU PPN bahwa PPN terutang saat:
Pasal 11 ayat (1) UU PPN
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP);
impor Barang Kena Pajak (BKP);
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP);
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
ekspor Barang Kena Pajak tidak Berwujud, atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
Hal yang perlu menjadi perhatian dan perlu untuk dipahami oleh PKP adalah poin a. penyerahan Barang Kena Pajak karena terdapat penjelasan lebih lanjut yang tertuang di dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN, yang berbunyi:
Penjelasan Pasal 11 Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
Prinsip Akrual merupakan stelsel atau metode dalam Pembukuan yang diakui dalam perpajakan dan diatur dalam Pasal 28 ayat (5) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya (UU KUP). Dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (5) bahwa:
“..Stelsel Akrual Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai...”
Artinya, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengakui adanya pendapatan meskipun Kas ataupun imbalan serupa belum diterima secara riil atas penyerahan BKP/penyerahan JKP yang telah dilakukan. Dalam hal ini, umumnya, PKP menerbitkan invoice atas bukti terjadinya penyerahan BKP/penyerahan JKP yang diserahkan kepada pelanggan dan penjual kemudian membukukan Piutang atas Penyerahan tersebut. Hanya saja, pembukuan dalam akuntansi dan perpajakan mewajibkan taat asas, artinya proses penerbitan invoice atau faktur penjualan dan pengakuan pendapatan harus dilakukan secara konsisten. Apabila tidak, auditor ataupun pemeriksa pajak dapat meragukan pembukuan yang telah dilakukan oleh PKP.
Terakhir, Direktur Jenderal Pajak (DJP) juga telah memberi penegasan dalam Surat Edaran Pajak terkait Prinsip Akrual dan kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UU PPN:
“...Prinsip akrual sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang PPN tersebut di atas mencerminkan bahwa penentuan saat terutangnya pajak atas penyerahan barang dan penyerahan jasa dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sejalan dengan norma dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum.
...Dalam sistem akrual, pendapatan atau piutang diakui pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa melihat apakah atas transaksi tersebut telah dibayar ataupun belum dibayar. Pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang...”
Sebagai kesimpulan, selama Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjalankan pembukuan secara konsisten dan handal, Faktur Pajak juga dapat diterbitkan ketika invoice atau ketika faktur penjualan dilakukan.
Comments