Berkaitan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) paling lambat pada tahun 2060 dan target pengurangan emisi Indonesia sebesar 31,89% pada tahun 2030 berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Pemerintah Indonesia berencana untuk menerapkan pajak karbon.
Tujuan dari penerapan pajak karbon ini adalah untuk mendorong inovasi teknologi serta mendorong pelaku usaha untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau atau rendah karbon, sehingga dapat mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Selain itu, pajak karbon ini juga akan digunakan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan prinsip "pencemar membayar" berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dana yang diperoleh dari pajak karbon ini akan dialokasikan untuk pengembangan energi bersih atau Energi Baru Terbarukan (EBT). Lantas bagaimana kelanjutan dari kebijakan pajak karbon?
Pada mulanya, rencana pengenaan pajak karbon telah diumumkan sejak tahun 2021 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada bulan April 2021. Namun, pelaksanaannya dibatalkan. Kemudian, pengunduran jadwal tersebut terjadi untuk kedua kalinya pada tahun 2022 dengan alasan mempertimbangkan mekanisme pasar karbon dan kondisi ekonomi yang dianggap belum cukup siap. Akhirnya, implementasi pajak karbon ditunda hingga diproyeksikan akan berlaku pada tahun 2025 mendatang.
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa tarif pajak karbon terendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida yang setara. Tarif ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan usulan awal sebesar Rp 75. Dengan adanya tarif sebesar Rp 30, Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan tarif pajak karbon terendah di seluruh dunia.
Indonesia menggunakan dua pendekatan dalam penetapan pajak karbon, yaitu dengan menggunakan skema cap and tax atau berdasarkan batas emisi. Skema cap and tax ini merupakan kombinasi antara carbon tax dan cap-and-trade yang sering diterapkan di banyak negara. Ada dua mekanisme yang dapat digunakan, yaitu menetapkan batas emisi yang diizinkan untuk setiap industri atau menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan untuk setiap unit tertentu. Terdapat kebutuhan untuk memodifikasi skema pajak karbon ini karena perbedaan dalam ekosistem industri di setiap wilayah dan juga tanggapan publik terhadap peraturan baru ini.
Oleh karena itu, Untuk mengurangi dampak negatif seperti inflasi dan potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik yang terkait dengan peningkatan harga produksi, perlu dilakukan perencanaan dan penghitungan yang cermat. Pada saat diterapkan nantinya, pajak karbon akan difokuskan oleh pemerintah pada sektor-sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Sebagai contoh, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar merupakan salah satu penyumbang emisi tertinggi.
Comments